Kacaunya Timbangan Prioritas pada Umat
Apabila kita memperhatikan kehidupan kita dari berbagai sisinya --baik dari segi material maupun spiritual, dari segi pemikiran, sosial, ekonomi, politik ataupun yang lainnya-- maka kita akan menemukan bahwa timbangan prioritas pada umat sudah tidak seimbang lagi.
Kita dapat menemukan di setiap negara Arab dan Islam berbagai perbedaan yang sangat dahsyat, yaitu perkara-perkara yang berkenaan dengan dunia seni dan hiburan senantiasa diprioritaskan dan didahulukan atas persoalan yang menyangkut ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Dalam aktivitas pemudanya kita menemukan bahwa perhatian terhadap olahraga lebih diutamakan atas olah akal pikiran, sehingga makna pembinaan remaja itu lebih berat kepada pembinaan sisi jasmaniah mereka dan bukan pada sisi yang lainnya. Lalu, apakah manusia itu hanya badan saja, akal pikiran saja, ataukah jiwa saja?
Dahulu kita sering menghafal sebuah kasidah Abu al-Fath al-Bisti yang sangat terkenal. Yaitu kasidah berikut ini:
"Wahai orang yang menjadi budak badan, sampai kapan engkau hendak mempersembahian perkhidmatan kepadanya.
Apakah engkau hendak memperoleh keuntungan dari sesuatu yang mengandung kerugian?
Berkhidmatlah pula kepada jiwa, dan carilah berbagai keutamaan padanya,
Karena engkau dianggap sebagai manusia itu dengan jiwa dan bukan dengan badan"
Kita juga hafal apa yang dikatakan oleh Zuhair ibn Abi Salma dalam Mu'allaqat-nya:
"Lidah seorang pemuda itu setengah harga dirinya, dan setengah lagi adalah hatinya. Jika keduanya tidak ada pada dirinya, maka dia tiada lain hanya segumpal daging dan darah."
Akan tetapi kita sekarang ini menyaksikan bahwa manusia dianggap sebagai manusia dengan badan dan otot-ototnya, sebelum menimbang segala sesuatunya.
Pada musim panas tahun lalu (1993), tiada perbincangan yang terjadi di Mesir kecuali perbincangan di seputar bintang sepak bola yang dipamerkan untuk dijual. Harga pemain ini semakin meninggi bila ada tawar-menawar antara beberapa klub sepak bola, sehingga mencapai 750.000 Junaih (satuan mata uang Mesir).
Jarang sekali mereka yang mengikuti perkembangan dunia olahraga, khususnya olahraga yang bermanfaat bagi manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka hanya menumpukan perhatian terhadap pertandingan olahraga, khususnya sepak bola yang hanya dimainkan beberapa orang saja, sedangkan yang lainnya hanya menjadi penonton mereka.
Sesungguhnya bintang masyarakat, dan nama mereka yang paling cemerlang bukanlah ulama atau ilmuwan, bukan pemikir atau juru da'wah; akan tetapi mereka adalah apa yang kita sebut sekarang dengan para aktor dan aktris, pemain sepak bola, dan sebagainya.
Surat kabar dan majalah, televisi dan radio, hanya memperbincangkan kehidupan, tingkah laku, "kejayaan," petualangan, dan berita di sekitar mereka, walaupun tidak berharga. Sedangkan orang-orang selain mereka tidak pernah diliput, dan bahkan hampir dikesampingkan atau dilupakan.
Apabila ada seorang seniman yang meninggal dunia, seluruh dunia gempar karena kematiannya, dan semna surat kabar berbicara tentang kematiannya. Namun apabila ada seorang ulama, ilmuwan, atau seorang profesor yang meninggal dunia, seakan-akan tidak ada seorangpun yang membicarakannya.
Kalau dilihat dari segi material, perhatian mereka kepada dunia olahraga dan seni memakan biaya sangat tinggi; yaitu untuk membiayai publikasi, dan keamanan penguasa, yang mereka sebut sebagai biaya "keamanan negara"; dimana tidak ada seorang pun dapat menolak atau mengawasinya. Mengapa semua itu bisa terjadi?
Pada saat yang sama, lapangan dunia pendidikan, kesehatan, agama, dan perkhidmatan umum, sangat sedikit mendapat dukungan dana; dengan alasan tidak mampu atau untuk melakukan penghematan, terutama apabila ada sebagian orang yang meminta kepada mereka sumbangan untuk melakukan peningkatan sumber daya manusia dalam rangka menghadapi perkembangan zaman. Persoalannya adalah seperti yang dikatakan orang: "Penghematan di satu sisi, tetapi di sisi lain terjadi pemborosan"; sebagaimana yang pernah dikatakan Ibn al-Muqaffa,: "Aku tidak melihat suatu pemborosan terjadi kecuali di sampingnya ada hak yang dirampas oleh orang yang melakukan pemborosan itu."
Penyimpangan Orang-orang Beragama Dewasa ini dalam Fiqh Prioritas
Penyimpangan terhadap masalah fiqh ini tidak hanya terjadi di kalangan awam kaum Muslimin, atau orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus di kalangan mereka, tetapi penyimpangan itu juga dilakukan oleh orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada agama ini, karena tidak adanya fiqh dan pengetahuan yang benar.