Meninggalkan Larangan Atau Melakukan Ketaatan?
Di antara warisan itu ada juga pembahasan tentang manakah yang lebih utama dan diprioritaskan di sisi Allah, meninggalkan larangan dan yang diharamkan ataukah mengerjakan perintah-Nya dan mentaati-Nya?
Sebagian ulama mengatakan, "Meninggalkan larangan lebih penting daripada melakukan perintah." Mereka mengeluarkan pernyataan itu berdasarkan dalil hadits shahih yang disepakati keshahihannya, yang disebutkan oleh al-Nawawi dalam al-Arbain-nya, dan.juga disebutkan dalam Syarh Ibn Rajab dalam Jami'-nya; yaitu:
"Apabila aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah dia; dan apabila aku memerintahkanmu tentang suatu perkara maka kerjakanlah dia sesuai dengan kemampuanmu." Muttafaq Alaih' diriwayatkan oleh Bukhari (7288); dan
Muslim (1337).
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa larangan lebih diutamakan daripada perintah, karena sesungguhnya dalam larangan tidak dikenal adanya keringanan (rukhshah) dalam suatu perkara, sedangkan perintah dikaitkan dengan kemampuan orang yang hendak mengerjakannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad.
Pendapat ini serupa dengan pendapat sebagian ulama yang mengatakan, "Amal kebajikan dilakukan oleh orang baik dan orang yang durhaka, sedangkan kemaksiatan tidak ditinggalkan kecuali oleh orang yang jujur." Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari ucapan Sahl bin
Abdullah at-Tasturi, dalam al-Hilyah, 10: 211
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw bersabda kepadanya,
"Hindarilah perkara-perkara yang diharamkan, niscaya engkau akan menjadi manusia yang paling baik dalam beribadah." Sabda Nabi saw ini merupakan potongan daripada
hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, 2: 310; Tirmidzi
(2305); yang dianggap hadits gharib oleh Tirmidzi. Akan
tetapi ada isnad lain dari Ibn Majah (4217) Yang
menguatkan hadits tersebut; Baihaqi dalam al-Zuhd
(818); Abu Nu'aim dalam al-Hilyah, 10: 365; yang
dianggap sebagai hadits hasan oleh al-Bushiri dalam
Misbah al-Zujajah.
'Aisyah r.a. berkata, "Barangsiapa yang ingin menyaingi kebaikan orang yang selalu bersungguh-sungguh, maka hendaklah dia menahan diri dari berbagai dosa." Diriwayatkan dari 'Aisyah secara marfu'. Diriwayatkan oleh Abu Ya'la (4950). Di dalam
sanad-nya terdapat Suwaid bin Sa'id, dan Yusuf bin
Maimun. Keduanya orang yang lemah.
Al-Hasan berkata, "Tidak ada sesuatu yang dapat dipersembahkan oleh seorang hamba kepada Tuhannya yang lebih baik daripada meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT."
Sebetulnya, riwayat yang menyebutkan keutamaan meninggalkan hal-hal yang haram atas perbuatan ketaatan hanyalah dimaksudkan dalam ketaatan untuk perkara-perkara yang sunnah. Jika tidak, maka sesungguhnya jenis amalan yang wajib lebih utama daripada jenis meninggalkan hal-hal yang haram. Karena memang amalan itulah yang dimaksudkan, sedangkan hal-hal yang haram itu dituntut ketidakberadaannya; dan oleh sebab itu tidak memerlukan niat. Berbeda dengan amalan yang bila ditinggalkan bisa menyebabkan kekufuran; seperti meninggalkan tauhid, meninggalkan seluruh atau sebagian rukun Islam. Hal ini akan berbeda dengan melakukan perbuatan terlarang, di mana perbuatan itu sendiri tidak mengandung kekufuran. Hal ini dibuktikan dengan ucapan Ibn Umar, "Sesungguhnya menolak satu daniq (1/6 dirham) yang haram itu lebih baik daripada menafkahkan seratus ribu daniq di jalan Allah SWT.
Diriwayatkan dari sebagian ulama salaf: "Meninggalkan satu daniq yang tidak disukai oleh Allah SWT adalah lebih aku sukai daripada lima ratus kali melakukan ibadah haji."
Maimun bin Mihran berkata, "Mengingat Allah dengan lidah adalah baik, dan lebih utama lagi jika seorang hamba mengingat-Nya saat hendak melakukan maksiat kemudian dia mencegah diri dari melakukannya."
Ibn al-Mubarak berkata, "Penolakanku terhadap satu dirham yang berasal dari syubhat adalah lebih aku cintai daripada bershadaqah seratus ribu dan seratus ribu, sehingga sampai enam ratus ribu."
Umar bin Abd al-Aziz berkata, "Ketaqwaan itu bukan berjaga dan beribadah di malam hari, atau berpuasa di siang hari, atau kedua-duanya sekaligus; akan tetapi ketaqwaan itu adalah menunaikan apa yang difardhukan Allah SWT dan meninggalkan apa yang diharamkan Allah SWT. Jika setelah itu masih ada lagi amalan yang dapat dikerjakan, maka ia adalah kebaikan yang ditambahkan kepada kebaikan."
Dia juga mengatakan, "Aku senang kalau aku tidak dapat melakukan shalat selain shalat lima waktu dan shalat witir; dapat menunaikan zakat kemudian setelah itu tidak bershadaqah dengan satu dirham pun; berpuasa Ramadhan dan tidak berpuasa satu hari pun setelah itu; melakukan ibadah haji kemudian tidak melakukan haji lagi selamanya sesudah itu; lalu dengan sisa kekuatanku, diriku ini berniat melakukan apa yang diharamkan oleh Allah kepadaku, tetapi aku dapat mencegahnya."