Ibrahim berkata, "Kemudian aku pernah berjumpa dengan al-Fudhail bin 'Iyadh yang membawa tulisan itu di masjid al-Haram. Ketika membacanya, kedua matanya mengucurkan air mata sambil berkata, 'Abu Abdurrahman benar ketika dia memberikan nasihat kepadaku.'", Ibrahim berkata lagi: "Apakah kamu termasuk salah seorang yang menulis riwayat ini?" Dia menjawab, "Ya." Ibrahim berkata kepadanya, "Tulislah riwayat tersebut sebagai orang yang pernah melihat peristiwa itu dan yang membawa tulisan dari Abu Abdurrahman kepada kami.
Kemudian al-Fudhail mendiktekan kepada kami: Manshur bin al-Mu'tamir meriwayatkan kepada kami, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya ada seorang lelaki berkata kepada Rasulullah saw, 'Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku suatu amalan yang aku dapat memperoleh pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah.' Maka Rasulullah saw menjawab, 'Apakah engkau dapat melakukan shalat dan puasa secara terus-menerus?' Lelaki itu menjawab, 'Wahai Rasulullah, aku terlalu lemah untuk melakukan hal itu.' Maka Nabi saw bersabda, 'Demi yang diriku berada di tangan-Nya, kalau kamu mampu melakukan hal itu maka kamu tidak dapat mencapai angkatan orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Atau kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya kuda yang berperang akan mendapatkan pahala, sehingga berbagai kebaikan dituliskan untuknya."
Kisah di atas disebutkan dalam salah satu seminar tentang pemikiran Islam di Aljazair, lalu salah seorang tokoh juru da'wah menolaknya, dan tidak membenarkan bahwa cerita itu memiliki dasar yang benar. Karena bagaimana Ibn al-Mubarak menamakan ibadah di al-Haramain sebagai suatu permainan? Yang jelas, kisah itu benar. Ibn 'Asakir menyebutkan kisah itu berikut sanadnya dalam riwayat hidup Abdullah bin al-Mubarak, kemudian dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, di akhir surat Ali 'Imran, Lihat Tafsir Ibn Katsir. cet. Isa al-Halabi. 1:447
yang mengaku kebenaran kisah tersebut. Al-Hafiz al-Dzahabi juga menyebutkan riwayat hidup Ibn al-Mubarak dalam ensiklopedianya, Siyar A'lam an-Nubala' Lihat Siyar A'lam al-Nabala', 8: 364, 365.
Dalam kisah itu tidak ada pernyataan yang bertentangan dengan aqidah Islam dan nash-nashnya, bahkan Ibn al-Mubarak mempergunakan dalil dari al-Qur'an dan sunnah Nabi saw dalam menggubah syairnya, sebagaimana dikuatkan oleh ahli ibadah dan zuhud, al-Fudhail, yang pernah didikte oleh Ibn al-Mubarak.
Tokoh kita, al-Bahi al-Khuli, menyebutkannya dalam bukunya yang terkenal, Tadzkirah ad-Du'at, dan memberikan komentar atas kisah itu sebagai berikut:
"Ibn al-Mubarak menulis perkataan ini untuk sahabatnya, al-Fudhail, pada saat jihad belum menjadi fardhu ain. Walaupun demikian dia menilai ibadahnya sebagai suatu permainan, pada hal ibadah itu dilakukan di tempat yang paling mulia di muka bumi ini. Tahukah kamu apa yang akan dikatakan oleh Ibn al-Mubarak kalau jihad telah menjadi fadhu ain? Dan apa yang akan dikatakan olehnya tentang ibadah di luar masjid al-Haram?" Tadzkirah al-Du'at, h. 212.
Tetap Bergaul dengan Masyrakat ketika Terjadi Kerusakan Moral ataukah Mengucilkan Diri dari Mereka?
Di antara warisan pemikiran para ulama terdahulu yang dapat kita ikuti sekarang ini ialah topik pembahasan mengenai persoalan manakah yang lebih utama bagi seorang Muslim pada saat terjadinya fitnah dan menyebarnya kemaksiatan dan kerusakan. Apakah dia harus ikut serta menceburkan diri dalam masyarakat ataukah berusaha untuk memperbaikinya, atau memencilkan diri dari mereka dan menyelamatkan diri sendiri.
Orang-orarg sufi... kebanyakan lebih memilih tindakan yang kedua. Sedangkan ulama rabbani dan pejuang lebih mementingkan jalan para nabi. Yakni tetap bergaul dan berusaha memperbaiki mereka dengan penuh kesabaran dalam menerima siksaan yang dilakukan oleh manusia.
Ibn Umar meriwayatkan dari Nabi saw,
"Orang beriman yang tetap bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka adalah lebih baik daripada orang yang tidak mau bergaul dengan mereka dan tidak bersabar atas gangguan mereka." Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam al-Adab
al-Mufrad; Tirmidzi, dan Ibn Majah sebagaimana yang
disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir, 6651.
Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam buku Ihya'-nya memberikan komentar di sekitar keuntungan dan kerugian memencilkan diri dan tetap bergaul dengan mereka.
Topik lainnya yang juga menjadi pembahasan mereka ialah tentang dunia dan kekayaannya. Manakah yang lebih utama kita menggeluti dunia dan kemewahannya, ikut serta melakukan kesibukan dalam urusan dunia bersama mereka dan ikut merasakan kenikmatannya dengan tetap memperhatikan batas-batas yang ditetapkan oleh Allah SWT; ataukah kita memalingkan diri darinya dan menjauhinya, serta menjauhi orang kaya, perhiasan dunia, dan harta kekayaannya?
Kebanyakan orang sufi lebih memilih tindakan yang kedua, akan tetapi ulama rabbani yang benar dari ulama umat ini lebih memilih tindakan yang pertama; sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi. Seperti Nabi Yusuf, Dawud, dan Nabi Sulaiman, serta para tokoh senior sahabat Rasulullah saw, seperti Utsman, Abdurrahman bin Auf, Talhah, Zubair, Sa'ad, dan lain-lain.
Al-Allamah Abu al-Faraj ibn al-Jawzi (w. 597 H.) menolak sikap para sufi yang mencela dunia secara mutlak, dan menganggapnya sebagai suatu keburukan dan bencana, serta tidak mau memilikinya dan mencarinya walaupun kekayaan itu halal. Ibn al-Jawzi dalam buku kritiknya, Talbis Iblis, mempergunakan dalil yang berasal dari al-Qur'an, sunnah Rasulullah saw, petunjuk para sahabat, dan kaidah-kaidah syari'ah agama.