Para fuqaha mengatakan, "Kalau musuh kita mempergunakan kaum Muslimin sebagai benteng pertahanan mereka, ketika mereka dijadikan sebagai tawanan; kemudian mereka ditempatkan pada barisan tentara yang terdepan, untuk melindungi tentara mereka sendiri; dan kalau kita tidak menghancurkan pasukan tentara musuh itu akan membahayakan umat Islam, maka kaum Muslimin yang dijadikan sebagai tameng itu boleh kita bunuh. Pasukan tentara kaum Muslimin boleh membunuh mereka, walaupun darah mereka harus dilindungi karena mereka tidak berdosa apa-apa. Sesungguhnya keadaan darurat untuk memberikan perlindungan kepada umat secara menyeluruh sangat memerlukan pengorbanan orang-orang yang dijadikan sebagai benteng itu. Kalau tidak, maka dikhawatirkan Islam akan tercabut dari akarnya dan dikuasai oleh orang-orang kafir. Dan pahala orang-orang itu kita serahkan kepada Allah." Lihat Imam al-Ghazali, al-Mustashfa, 1: 294-295
Oleh karena itu, Imam Ghazali menjawab penolakan orang-orang yang tidak setuju dengan praktek tersebut: "Ini merupakan penumpahan darah orang yang harus dilindungi dan diharamkan darahnya. praktek seperti itu bertentangan dengan hukum agama, karena sesungguhnya bila praktek serupa itu tidak dijalankan, maka tidak akan terjadi pertumpahan darah yang tidak dibenarkan. Namun kita mengetahui, bahwasanya agama ini sangat memperhatikan hak orang banyak daripada hak orang sedikit. Sesungguhnya menjaga kaum Muslimin agar tidak jatuh ke tangah orang-orang kafir adalah lebih penting daripada melaksanakan salah satu tujuan syari'ah agama ini, yaitu melindungi darah seorang Islam. Hal ini lebih penting daripada mencapai tujuan syari'ah itu." Ibid., 1:303 .
Pendapat di atas --sebagaimana yang kami lihat-- didasarkan atas fiqh pertimbangan.
Contoh yang serupa dengan ini ialah apabila terjadi kondisi darurat perang yang mewajibkan pembayaran pajak atas orang-orang yang mampu, dan mewajibkan orang-orang kaya untuk membiayai peperangan. Sesungguhnya syari'ah agama ini menekankan dan mewajibkannya, sebagaimana disebutkan dalam pelbagai nas yang ditulis oleh para ahli fiqh. Pada kondisi biasa (keadaan damai) mereka tidak dibebani kewajiban untuk membayar apa-apa selain zakat. Imam Ghazali mengemukakan argumentasi bagi pendapatnya sebagai berikut: "Karena sesungguhnya kita mengetahui bahwa apabila ada dua bahaya yang kita hadapi, maka syari'ah agama ini menganjurkan kepada kita untuk menolak bahaya yang lebih besar. Dan sesungguhnya bayaran yang dikenakan kepada setiap orang yang kaya (yang dibebani tambahan pembayaran pajak) adalah lebih kecil bahayanya atas diri mereka dan harta bendanya daripada bahaya yang timbul apabila negara Islam dikuasai oleh penguasa dari luar Islam yang nantinya akan menguasai aturan yang berlaku di negara itu. Dengan adanya tambahan pembayaran pajak itu kita dapat memotong segala macam kejahatan yang diperkirakan akan timbul." Imam al-Ghazali, al-Mustashfa, 1: 303-304; lihat
as-Syathibi, al-I'tisham, 2: 121-122, cet. Syirkah al-I'lanat
as-Syarqiyyah.
Kasus yang sama dengan ini ialah pembebasan tawanan kaum Muslimin dari tangan orang-orang kafir, walaupun untuk ini memerlukan biaya yang sangat tinggi. Imam Malik berkata, "Kaum Muslimin diwajibkan untuk menebus tawanan yang ada di tangan musuh, walaupun untuk melakukannya diperlukan seluruh kekayaan mereka." Abu Bakar Ibn 'Arabi, Ahkam al-Qur'an, 59-60.
Mengapa? Karena kehormatan para tawanan itu terdiri atas kaum Muslimin, dan kehormatan kaum Muslimin berada di atas kehormatan yang lebih khusus, yaitu harta kekayaan yang dimiliki oleh para individu.