Kemudian, masalah yang berkaitan dengan kekuasaan, sekalipun hukumnya boleh, mustahab, atau wajib, tetapi kekuasaan itu untuk orang lain dapat menjadi lebih wajib, atau lebih dianjurkan, sehingga untuk hal ini harus didahulukan sesuatu yang lebih baik di antara dua kebaikan, baik yang hukumnya wajib atau mustahab.
Termasuk di dalam kategori ini ialah tindakan Yusuf al-Shiddiq untuk menguasai perbendaharaan negara milik raja Mesir. Bahkan Yusuf sendiri yang meminta kepadanya untuk menjadi penjaga kekayaan negara, padahal raja dan kaumnya adalah orang-orang kafir. Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu..." (al-Mu'min: 34)
"Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu alaukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya..." (Yusuf: 39)
Telah diketahui bersama bahwa mereka adalah orang-orang kafir yang telah memiliki adat istiadat dan tradisi tersendiri dalam menyimpan dan membelanjakan harta kekayaan yang dimiliki oleh raja, kerabatnya, tentara dan rakyatnya. Dan sudah barang tentu adat istiadat dan tradisi itu tidak berjalan pada garis yang ditentukan oleh para nabi dan keadilan mereka. Yusufpun menyadari bahwa ia tidak bisa melakukan segala yang diinginkannya, sesuai dengan pandangan yang didasarkan ajaran agama Allah; karena kaumnya tidak menyambut apa yang diserukannya. Akan tetapi dia melakukan apa yang mungkin dilakukannya, yaitu keadilan dan kebajikan. Sehingga dia memperoleh kekuasaan melalui penghormatan kaum mu'min, dan keluarganya, yang tidak mungkin dia peroleh melalui jalan yang lain. Semua ini termasuk dalam firman Allah SWT:
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..." (at-Taghabun: 16)
Oleh sebab itu, apabila ada dua kewajiban yang tidak mungkin digabungkan, maka harus didahulukan yang lebih kuat di antara kedua kewajiban tersebut; yang pada hakikatnya bukan berarti kita meninggalkan kewajiban.
Begitu pula halnya apabila ada dua perkara haram yang bertemu dan tidak mungkin kita meninggalkan perkara haram yang lebih besar kecuall dengan melakukan perkara haram yang lebih kecil, maka melakukan perbuatan haram yang lebih kecil itu pada hakikatnya tidak dianggap melakukan perbuatan yang haram; walaupun orang menamakannya dengan "meninggalkan kewajiban" atau "melakukan perbuatan haram". Dalam hal ini ada ungkapan yang paling pas untuk dikatakan: "Meninggalkan kewajiban karena ada suatu uzur, dan melakukan sesuatu yang haram karena ada kemaslahatannya, atau dalam keadaan darurat, atau untuk menahan sesuatu yang lebih diharamkan."
Pembahasan yang berkaitan dengan masalah pembenturan seperti ini sangat luas, terutama pada masa dan tempat yang tidak banyak dipengaruh ajaran Nabi saw dan para khalifahnya. Masalah seperti ini akan banyak sekali dijumpai di masyarakat tersebut. Semakin lemah pengaruh Islam, maka akan semakin bertambah permasalahannya. Hal inilah yang banyak menimbulkan fitnah di antara umat. Karena sesungguhnya apabila kebaikan bercampur dengan keburukan, maka akan terjadi kerancuan. Ada umat Islam yang melihat kepada pelbagai kebaikan dan menguatkannya walaupun di dalam kebaikan itu tersimpan berbagai keburukan yang besar. Ada pula umat Islam yang melihat kepada pelbagai keburukan dan memegang erat pandangan tersebut, walaupun dia harus mengorbankan berbagai kebaikan yang besar. Sedangkan orang-orang yang moderat akan memandang dari dua sudut tersebut.
Oleh sebab itu, orang yang alim harus melihat dan menghayati semua persoalan ini. Karena kadang-kadang sebagian kewajiban --sebagaimana yang telah saya jelaskan di muka-- dapat berubah menjadi pemaafan dalam persoalan amar ma'ruf dan nahi mungkar, dan bukan penghalalan atau pengharaman. Seperti, memerintahkan suatu ketaatan dengan melakukan kemaksiatan yang lebih besar, sehingga tidak memerintahkan ketaatan itu dianggap sebagai penjagaan terhadap terjadinya suatu kemaksiatan. Contohnya adalah melaporkan orang yang berbuat dosa kepada penguasa yang zalim, sehingga bila hal itu dilakukannya, maka penguasa itu akan menyiksanya secara berlebihan, dan melebihi batas dosa yang telah dilakukan olehnya. Contoh lainnya ialah melarang suatu kemungkaran dengan meninggalkan perbuatan baik yang lebih besar manfaatnya daripada meninggalkan kemungkaran tersebut; sehingga larangan itu tidak dihiraukan karena mengandung risiko meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan rasul-Nya, di mana perkara ini lebih besar manfaatnya daripada sekadar meninggalkan kemungkaran tersebut." Ringkasan Kumpulan Fatwa Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyah, 20: 48-61