Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa keburukan boleh dilakukan dalam dua kondisi. Pertama, ketika kita menyingkirkan keburukan yang lebih buruk daripada keburukan yang pertama, di mana tidak ada pilihan lain kecuali melakukan keburukan yang kedua itu. Kedua, ketika kita melakukan keburukan itu kita dapat memperoleh sesuatu yang lebih bermanfaat daripada tidak melakukannya. Begitu pula halnya dengan kebaikan. Kebaikan itu dapat kita tinggalkan dalam dua kondisi: Apabila kita melakukan kebaikan itu akan melepaskan kesempatan untuk memperoleh kebaikan yang lebih baik daripada kebaikan yang pertama. Atau, apabila kita melakukan kebaikan itu, akan mendatangkan atau menambah bahaya yang mengancam kita. Pembahasan ini berkaitan dengan pertimbangan agama.
Ada lagi hukum yang berkaitan dengan gugurnya kewajiban karena adanya bahaya di dunia, dan bolehnya melakukan perkara-perkara yang diharamkan untuk keperluan dunia, seperti bolehnya berbuka puasa karena sedang bepergian, dan gugurnya hal-hal yang dilarang dalam ihram dan rukun shalat karena sakit. Perkara-perkara ini termasuk dalam bab lain, yaitu keleluasaan agama dan menghapus kesusahan yang banyak sekali aturannya di dalam syari'ah. Persoalan ini berbeda dengan persoalan yang kita bicarakan sebelumnya, di mana syari'ah tidak memberikan aturan yang berbeda-beda walaupun kasusnya berbeda-beda, tetapi tetap di dalam pandangan akal. Sebagaimana dikatakan: "Orang yang berakal itu bukanlah orang yang mengetahui kebaikan dari kejelekan, tetapi orang yang berakal ialah orang yang mengetahui yang terbaik di antara dua hal yang baik dan mengetahui yang terburuk di antara dua hal yang buruk."
"Sesungguhnya orang yang berakal itu apabila mendapati dua penyakit dalam tubuhnya, maka dia akan mengobati yang lebih berbahaya."
Begitulah yang seharusnya diberlakukan dalam semua persoalan.
Oleh sebab itu, dalam pandangan manusia, turunnya hujan ketika musim kering merupakan rahmat bagi mereka. Tidak adanya hujan sama sekali lebih berbahaya bagi mereka. Sehingga mereka lebih menguatkan adanya penguasa walaupun zalim daripada tidak ada penguasa sama sekali. Sebagaimana dikatakan:
"Enam puluh tahun dengan penguasa yang zalim adalah lebih baik daripada satu malam tanpa penguasa."
Setelah itu, penguasa akan disiksa karena melakukan permusuhan dan melanggar hak-hak mereka. Akan tetapi saya ingin mengatakan, "Kalau yang memegang kekuasaan adalah penguasa untuk seluruh wilayah, atau sebagian wilayah, seperti imaroh, dan pendidikan, kemudian dia tidak mampu melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan, akan tetapi dia melakukannya dengan tidak sengaja dan di luar kemampuannya, maka dia boleh bahkan wajib memegang kekuasaan tersebut. Dan bahkan wajib melakukannya. Karena kekuasaan yang dapat menghasilkan berbagai kemaslahatan, seperti melakukan peperangan terhadap musuh, membagi barang pampasan, menegakkan hukum agama, mengamankan negara, maka sesungguhnya memegang kekuasaan itu hukumnya wajib. Akan tetapi, manakala kekuasaan itu dipegang oleh orang yang tidak berhak memegangnya, sehingga ia mengambil sesuatu yang tidak halal, memberikan sebagian hak kepada orang yang seharusnya tidak menerimanya, tetapi hal ini tidak dapat dihindarkan, maka perkara ini termasuk dalam pembahasan "sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban atau perkara sunnah kecuali dengannya". Sehingga memegang kekuasaan itu hukumnya bisa menjadi wajib atau sunnah apabila keburukannya lebih sedikit daripada kebaikannya. Bahkan, kalau kekuasaan itu tidak wajib dan mengandung kezaliman, sehingga orang yang memegang kekuasaan itu melakukan kezaliman sampai diganti oleh orang yang hendak memperingan kezaliman dan orang yang memegang kekuasaan tersebut. Pada hakikatnya kita harus memilih resiko yang paling ringan, dan ini dianggap sebagai tindakan yang paling baik.
Pembahasan ini berkisar pada perbedaan niat dan tujuannya. Oleh sebab itu, barang siapa dimintai bantuan oleh seorang zalim yang berkuasa, kemudian dia diberi harta benda, sedangkan orang yang dimintai bantuan ini dapat mengambil tindakan yang netral antara yang menzalimi dan yang dizalimi, dan dapat mencegah terjadinya kezaliman yang lebih banyak, kemudian dengan cara seperti itu dapat mencegah terjadinya kezaliman tersebut, maka dia dianggap sebagai orang yang baik. Akan tetapi, apabila dia menjadi penengah dan malah membantu orang yang zalim itu, maka dia dianggap sebagai orang yang buruk.
Hanya saja, kebanyakan kasus yang terjadi terpulang kepada rusaknya niat dan tindakan orangnya. Yaitu niat untuk memperoleh kekuasaan dan harta kekayaan; dan tindakannya dalam melakukan hal-hal yang diharamkan dan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan. Persoalannya sudah bukan lagi pada benturan dan mencari sesuatu yang lebih bermanfaat dan lebih bermaslahat.