Sesungguhnya Islam, dengan al-Quran dan Sunnah Nabinya, telah
menanamkan dalam jiwa kaum Muslimin semangat untuk hidup
berjamaah melalui setiap hukum dan ajarannya.
Dalam shalat, kita dianjurkan shalat berjamaah, shalat Jumat,
shalat Id. Ada adzan dan ada masjid-masjid yang dibangun.
Rasulullah tidak memberikan keringanan kepada orang buta untuk
shalat di rumahnya selama dia masih dapat mendengarkan
panggilan adzan untuk melakukan shalat. Beliau bahkan pernah
hendak membakar rumah suatu kaum Muslimin, karena mereka
meninggalkan shalat berjamaah.
Di masjid, seorang Muslim tidak boleh shalat sendirian di
belakang barisan orang yang sedang shalat berjamaah, karena
hal itu menunjukkan bentuk pemisahan diri dan penyimpangan
dari jamaah; walaupun itu hanya bentuk yang tampak saja.
Diriwayatkan dari Wabishah bin Mu'abbad bahwasanya Rasulullah
saw melihat seorang lelaki shalat sendiri di belakang barisan
orang yang sedang shalat berjamaah, kemudian beliau
memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (682); Tirmidzi yang
menganggapnya sebagai hadits hasan (230); dan Ibn Majah (1004)
Diriwayatkan dari Ali bin Syaiban r.a. berkata, "Kami keluar
sehingga kami berjumpa dengan Nabi saw kemudian kamj
menyatakan janji setia kepadanya. Kami shalat di belakangnya,
kemudian kami shalat di belakangnya shalat yang lain. Kemudian
shalat itu selesai. Setelah itu beliau melihat seorang lelaki
shalat sendirian di belakang barisan. Lalu Nabi saw berdiri
ketika beliau hendak kembali sambil bersabda, "Betulkan
shalatmu, karena sesungguhnya tidak ada shalat di belakang
barisan." Diriwayalkan olch Ibn Majah ( 1003), dan disebutkan dalam
az-ZIwa tid bahwa isnad hadits ini shahih, danpara perawinya
tsiqah (dapat dipercaya).
Oleh sebab itu, orang Muslim yang masuk masjid, kemudian dia
menemukan ada suatu jamaah yang sedang melakukan shalat, maka
hendaklah dia mencari celah-celah di antara jamaah itu
kemudian dia masuk ke dalamnya. Jika tidak ada, maka hendaklah
dia menarik salah seorang di antara mereka untuk shalat di
sampingnya. Dia tidak boleh shalat sendirian, dan orang yang
ditarik itu hendaklah mengikutinya; karena untuk kasus ini dia
akan mendapatkan pahala tersendiri.
Sebagian imam mazhab mengambil pengertian lahiriah
hadits-hadits tersebut, sehingga mereka menganggap batal orang
yang shalat sendirian; sedangkan imam yang lainnya menganggap
bahwa hal itu hukumnya makruh.
Arti dari apa yang telah kami sebutkan di atas ialah betapa
gigihnya Islam hendak mewujudkan persatuan dan kesatuan, baik
dari segi kandungannya maupun bentuknya, dari inti maupun
penampakan luarnya.
Kalau ada seorang Muslim yang shalat sendirian, tidak sedang
berjamaah, maka dia dianggap mewakili kaum Muslimin dalam
memanjatkan doa kepada Tuhannya. Dia menyebut dirinya dengan
mengatasnamakan jamaah (kesatuan kaum Muslimin) sehingga dia
membaca:
"Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu
kami memohon pertolongan. Berilah petunjuk kepada kami
untuk meniti jalan yang lurus." (al-Fatihah: 5-6)
Dia tidak memohon pertolongan untuk dirinya sendiri bahkan
memohon untuk dirinya dan jamaahnya dalam saat yang sama.
Pada bulan puasa, dia juga tidak berpuasa sendirian. Ketika
seseorang melihat bulan sabit pada akhir bulan Ramadhan, dia
juga tidak berbuka sendiri; yaitu ketika dia melihat dengan
mata kepalanya sendiri bulan sabit yang menunjukkan kedatangan
bulan Syawal itu. Dia berpuasa bersama orang-orang Muslim
lainnya, dan juga berbuka puasa bersama-sama dengan mereka,
sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih.
Begitu pula halnya dengan wukuf di Arafah. Dia melakukan wukuf
bersama jamah kaum Muslimin yang sangat banyak.
Ibn Taimiyah pernah ditanya oleh penduduk desa yang melihat
bulan sabit Dzulhijjah, tetapi penguasa di Madinah tidak
melihatnya. Apakah mereka boleh melakukan puasa 9 Dzulhijjah
berdasarkan perhitungan orang desa itu, walaupun pada
hakikatnya hari itu adalah 10 Dzulhijjah menurut pendapat
penguasa mereka. Dia menjawab, "Ya, mereka boleh berpuasa pada
9 Dzulhiljah berdasarkan penglihatan mereka, walaupun menurut
penghitungan penguasa hari itu 10 Dzulhijjah; karena ada
hadits dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Nabi saw
bersabda,
"Puasa kamu adalah puasa ketika kamu semua berpuasa, dan
hari raya kamu adalah ketika kamu semua berhari raya,
dan Id al-Adha-mu adalah ketika kamu semua berhari raya
Id al-Adha." Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah, dan Tirmidzi yang
men-shahih-kan hadits ini.
Diriwayatkan dari 'Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw
bersabda,
"Hari raya Id al-Fitri ialah ketika semua orang berhari
raya Id al-Fitri, dan hari raya Id al-Adha ialah ketika
semua orang berhari raya Id al-Adha." Diriwayatkan oleh Tirmidzi .
Demikianlah amalan menurut pendapat para imam kaum Muslimin.
Karena sesungguhaya, apabila semua orang tidak tepat
tarikh-nya berada di Arafah pada tanggal sepuluh Dzulhijjah,
maka semua imam sepakat bahwa mereka akan tetap diberi pahala
wuquf di Arafah. Dan itulah Hari Arafah menurut mereka. Syarh Ghayah al-Muntaha fi al-Fiqh al-Hanbali, 2: 217-218.
Next'
Back
up