Pair of Vintage Old School Fru

Ada lagi seorang lelaki yang terbunuh pada Perang Khaibar. Maka para sahabat memberitahukan kejadian itu kepada Rasulullah saw, lalu beliau bersabda, "Shalatlah atas sahabat kamu." Maka berubahlah wajah semua orang yang ada di situ, kemudian beliau bersabda, "Sesungguhaya kawan kamu telah mengambil sesuatu ketika berjuang di jalan Allah." Kemudian para sahabat memeriksa barang-barang lelaki itu, ternyata mereka menemukan permata orang Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham. Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Jihad, h. 458; Ahmad, 4: 114; Abu Dawud (2710); Nasai. 4: 64; Ibn Majah (2848); Hakim yang menganggapnya shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim, 2:127, yang disepakati oleh adz-Dzahabi. Semuanya meriwayarkan dari Zaid bin Khalid.

Hanya karena sesuatu yang tidak sampai dua dirham harganya, Nabi saw menolak untuk shalat atas orang itu; agar hal itu dijadikan pelajaran bagi mereka bahwa beliau sangat tidak suka terhadap kerakusan terhadap barang milik orang banyak, baik yang nilainya sedikit maupun banyak.

Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata bahwasanya Umar telah memberitahukan kepadaku seraya berkata, "Ketika terjadi Perang Khaibar, ada beberapa orang sahabat Nabi yang menghadap kepadanya sambil berkata, 'Fulan syahid, dan Fulan syahid,' sampai mereka melewati seorang lelaki dan berkata, 'Fulan syahid.' Maka Rasulullah saw bersabda, 'Sekali-kali tidak, sesungguhnya aku telah melihatnya di dalam neraka, karena ada purdah yang diambilnya atau baju panjang yang diambilnya.' Kemudian Nabi saw bersabda, 'Wahai anak Khattab, pergi dan beritahukan kepada semua orang bahwa tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang beriman.'" Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn Abbas, dari Umar, dalam kitab al-Iman (182)

Apa sebenarnya yang hendak ditunjukkan oleh hadits-hadits tersebut? Sesungguhnya hadits-hadits ini menunjukkan betapa besar hak orang lain apa lagi untuk perkara yang berkaitan dengan harta benda, baik milik perorangan atau milik umum. Seseorang tidak boleh mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak halal, dan memakan makanan dengan cara yang tidak benar, walaupun nilainya sangat rendah, karena sesungguhnya yang paling penting adalah prinsip yang mendasari perbuatan kita itu. Barangsiapa yang memberanikan diri untuk mengambil barang yang sedikit, maka tidak diragukan lagi bahwa dia juga mau mengambil yang lebih besar. Sesungguhnya sesuatu yang kecil akan membawa kepada sesuatu yang besar. Api yang besar itu kebanyakan berasal dari api yang kecil.

Beberapa Tingkat Fardhu Kifayah
Saya ingin menjelaskan di sini bahwa sesungguhnya fardhu kifayah juga mempunyai beberapa tingkatan. Ada fardhu kifayah yang cukup hanya dilakukan oleh beberapa orang saja, dan ada pula fardhu kifayah yang dilakukan oleh orang banyak. Ada pula fardhu-fardhu kifayah yang tidak begitu banyak orang yang telah melakukannya, bahkan tidak ada seorangpun yang melakukannya.

Pada zaman Imam Ghazali, orang-orang merasa aib bila mereka tidak menuntut ilmu pengetahuan di bidang fiqh, padahal ia merupakan fardhu kifayah, dan pada masa yang sama mereka meninggalkan wajib kifayah yang lain; seperti ilmu kedokteran. Sehingga di suatu negeri kadangkala ada lima puluh orang ahli fiqh, dan tidak ada seorangpun dokter kecuali dari ahli dzimmah. Padahal kedokteran pada saat itu sangat diperlukan, di samping ia juga dapat dijadikan sebagai pintu masuk bagi hukum-hukum dan urusan agama.

Oleh karena itu, fardhu kifayah yang hanya ada seorang yang telah melakukannya adalah lebih utama daripada fardhu kifayah yang telah dilakukan oleh banyak orang; walaupun jumlah yang banyak ini belum menutup semua keperluan. Fardhu kifayah yang belum cukup jumlah orang yang melakukannya, maka ia semakin diperlukan.

Kadangkala fardhu kifayah dapat meningkat kepada fardhu ain untuk kasus Zaid atau Amr, karena yang memiliki keahlian hanya dia seorang, dan dia mempunyai kemungkinan untuk melakukannya, serta tidak ada sesuatupun yang menjadi penghalang baginya untuk melakukannya.

Misalnya, kalau negara memerlukan seorang faqih yang ditugaskan untuk memberi fatwa, dan dia seorang yang telah belajar fiqh, atau dia sendiri yang dapat menguasai ilmu tersebut.

Contoh lainnya ialah guru, khatib, dokter, insinyur, dan setiap orang yang memiliki keahlian tertentu yang sangat diperlukan oleh manusia, dan keahlian ini tidak dimiliki oleh orang lain.

Next'
Back

up