Kalau kita berasumsi membagi kehidupan ini menjadi seratus bagian, maka kita akan menemukan bahwa kekhususan ibadah dalam Islam itu terbagi menjadi beberapa bagian. Begitu pula halnya dengan perkara yang berkaitan dengan infaq, pencarian rizki, jihad, dan menikmati berbagai kelezatan hidup lainnya. Semuanya memiliki bagian tersendiri. Kalau masing-masing bagian itu kita ubah, lalu kita kurangi bagian jihad, dan kita tambah bagian ibadah, kemudian kita kurangi juga mencari rizki dan memberikan infaq, lalu kita menangkan penikmatan hidup sehingga kita menjadi orang yang lalai, maka berarti kita telah keluar dari aturan yang hakiki, keluar dari aturan Islam, dan kita juga dianggap menghilangkan keseimbangan nilai-nilai kehidupan yang telah ditetapkan olehnya (Islam).

Maka orang Muslim yang "sempurna" pada beberapa kurun waktu terakhir ini adalah orang yang melakukan ibadah dengan maknanya yang sempit dan tidak memiliki kesibukan lainnya, yang senantiasa melakukan i'tikaf di masjid/mushalla dan senantiasa berdzikir dan membaca wirid. Sesungguhnya gambaran seperti ini sama sekali tidak sama dengan gambaran yang dahulu pernah dilakukan oleh Rasulullal saw yang mulia serta para sahabatnya yang mengikutinya. Walaupun ibadah merupakan bagian yang sangat mendasar dalam kehidupan mereka, tetapi jihad tetap memenuhi hati mereka. Jihad di jalan Allah untuk membebaskan masyarakat dari berbagai aqidah yang rusak dan menanamkan aqidah yang benar dalam hati mereka, serta membebaskan kezaliman orang-orang yang zalim, dan kediktatoran para diktator untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang yang lemah dan menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia. Begitu pula kehidupan orang Muslim yang menyibukkan diri dalam perjuangan dan perbaikan masyarakat akan dianggap kurang apabila tidak disertai dengan ibadah sehingga hubungannya dengan Allah SWT tidak begitu erat.

Para ahli fiqh kita terdahulu telah menyadari pemikiran ini, pemikiran mengenai adanya perbedaan tingkat dan persentase dalam amal perbuatan manusia, sehingga mereka meminta kepada kaum Muslimin untuk melakukan berbagai fardu dengan tertib sesuai dengan tingkat permintaan yang diajukan kepada mereka. Begitu pula pandangan mereka kepada perkara-perkara yang dilarang dan diharamkan. Mereka menempatkan tingkat pelarangan dan pengharamannya secara berperingkat-peringkat. Oleh sebab itu, tidaklah sama dosa yang dilakukan oleh seorang pejuang yang meninggalkan barisan perangnya sehingga dia membuka celah bagi masuknya musuh Islam dengan dosa meminum khamar dan memakan daging babi, padahal kedua perkara tersebut adalah haram. Banyak sekali ayat al-Qur'an dan hadits Nabi saw mengisyaratkan kepada pemikiran tersebut. Misalnya firman Allah SWT:

"Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan mengurus masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah..." (at-Taubah: 19)

Begitu pula halnya dengan sabda Rasulullah saw ketika beliau ditanya tentang suatu amalan yang menyamai tingkat jihad di jalan Allah. Orang yang bertanya itu mengulangi dua atau tiga kali Kemudian Rasulullah saw bersabda, "Mereka tidak dapat menyamainya." Lalu beliau saw bersabda lagi, "Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah, adalah seperti orang yang berpuasa, lalu melakukan qiyamul lail kemudian dia membaca ayat-ayat Allah dan tidak menghentikan puasa dan shalatnya sehingga orang yang berjuang itu kembali lagi ke rumahnya." Muttafaq 'Alaih.

Dalam riwayat shahih disebutkan bahwa ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling utama?" Beliau saw menjawab, "Orang mu'min yang berjihad dengan jiwa dan harta bendanya di jalan Allah." Kemudian beliau saw ditanya lagi, "Lalu siapa setelah itu?" Beliau menjawab, "Seseorang yang berada di suatu bangsa yang bertaqwa kepada Allah, kemudian dia meninggalkan manusia karena takut kejahatan mereka." Muttafaq Alaih

Ahmad meriwayatkan sabda Rasulullah saw dengan sanad yang shahih, "Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang sedangkan dia mengetahuinya, maka dosanya lebih berat daripada tiga puluh enam kali berzina." Periwayatan hadits ini telah kita sebutkan pada bab-bab terdahulu.

Maka riba adalah jenis kezaliman dalam harta benda yang dosanya lebih berat daripada melakukan zina.

Kalau kita berusaha mengumpulkan hadits-hadits seperti ini, yang memberikan nilai suatu amalan dibandingkan dengan amalan lainnya, maka kita akan menemukan berbagai peringkat amalan itu secara matematis antara pelbagai nilai hidup. Sebagaimana sabda Nabi saw, "Satu hari yang dijalani oleh seorang Imam yang adil adalah lebih utama daripada ibadah selama enam puluh tahun." Periwayatan hadits ini telah kita sebutkan pada bab-bab terdahulu.

Next>>


Back
Menu


XtGem Forum catalog