"Kelebihan seorang yang berilmu atas orang yang beribadah adalah seperti kelebihan diriku atas orang yang paling hina di antara kamu." Periwayatan hadits ini telah kita sebutkan pada bab-bab
terdahulu.
"Seorang ahli fiqh adalah lebih berat bagi setan daripada seribu orang ahli ibadah." Diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Tirmidzi yang berkata, "Ini
adalah hadits gharib yang tidak kami ketahui kecuali dari
al-Walid bin Muslim. Ibn al-Jawzi berkata dalam al-'Ilal,
"Hadits ini tidak shahih." Al, Iraqi berkata, "Isnad hadits
ini lemah." Al-Albani berkata, "Hadits ini dha'if." Al-Jami'
al-Shaghir, "Mawdhu'"
Dari uraian tersebut jelaslah kesalahan orang yang menumpukan perhatiannya kepada satu perkara yang kadang-kadang dituntut atau dilarang dalam Islam, tetapi dia tidak menghadapi perkara yang jauh lebih penting daripada itu. Negara-negara Islam pada zaman ini ditimpa dua bahaya yang sangat besar; yaitu imperialisme dan atheisme; atau penguasaan atas bumi mereka sekaligus aqidah mereka. Harta kekayaan material musnah dan kehidupan spiritual mereka terampas. Apabila negara itu telah dapat dikuasai sepenuhnya dan aqidah mereka dapat dihancurkan, maka mereka tidak mungkin lagi mendirikan syiar-syiar agama dan melaksanakan segala perintahnya, serta menerapkan hukum-hukumnya. Oleh sebab itu, para penjajah mengalihkan pikiran kaum Muslimin kepada persoalan-persoalan yang lain sehingga mereka memusatkan perhatian dan perjuangan mereka ke sana sehingga melalaikan persoalan yang lebih penting dan mendasar; dan dengan cara seperti itu mereka dapat menguasai negara-negara Islam secara langsung atau tidak langsung, menghancurkan aqidah Islam melalui berbagai cara, menyebarkan pemikiran dan mazhab-mazhab atheisme dengan berbagai bentuknya. Apakah dalam keadaan seperti ini kita masih perlu membagi-bagi kaum Muslimin kepada kelompok yang berpendapat bahwa shalat tarawih delapan rakaat dan kelompok yang berpendapat dua puluh rakaat? Dan membagi mereka kepada kelompok yang berpendapat boleh mengulang-ulang shalat jamaah dan yang tidak mengatakannya? Ataukah kita masih perlu melayani pertarungan antara sunnah dan bid'ah yang sama sekali tidak menyentuh masalah aqidah?
Saya tidak berkata bahwa perkara-perkara seperti itu tidak perlu dibahas lagi secara ilmiah, tetapi saya hanya mengatakan, "Kita hanya perlu mengambil perhatian kalau seandainya masalah tersebut telah menyentuh aqidah kita. Dan kita lebih baik memberikan perhatian kepada cara yang benar dalam melakukan ibadah. Karena sesungguhnya ibadah itu tawqifi, tidak ditambah dan juga tidak dikurangi dari apa yang telah diperintahkan oleh Nabi saw. Walaupun demikian, jika terjadi suatu fitnah atau pergaduhan antara dua kelompok kaum Muslimin maka kita wajib meninggalkannya karena ada kemungkaran yang lebih besar yang memecah belah kaum Muslimin menjadi beberapa bagian dalam keadaan tertentu dan dapat melemahkan kekuatan mereka. Sepatutnya kita tidak perlu menyibukkan diri kecuali kepada persoalan yang mendasar dan besar." al-Fikr al-Islami al-Hadits, 65-69, Penerbit Dar al-Fikr.
Syaikh Al-Ghazali
Di antara ulama yang memberikan perhatian besar kepada fiqh prioritas melalui pandangan, pemikiran, dan penjelasan yang diberikannya ialah seorang juru da'wah besar, Syaikh Muhammad al-Ghazali. Ia telah memberikan perhatian yang sangat besar kepada masalah ini dalam buku-buku yang ditulisnya, terutama buku-buku yang ditulis menjelang akhir hayatnya. Hal itu ia lakukan dan ia beri perhatian karena pengalamannya dalam melakukan da'wah di tengah-tengah manusia yang mengaku sebagai orang Islam dan juru da'wah Islam, yang menjungkirbalikkan pohon Islam. Mereka menjadikan pohon dan akarnya yang kuat sebagai ranting-ranting yang lemah, dan menjadikan ranting-rantingnya sebagai dedaunan yang menghembuskan angin, dan menjadikan daun-daunnya sebagai akar, yang bertumpu kepadanya seluruh pemikiran, perhatian, dan pekerjaan.
Pada kesempatan ini saya menganggap cukup mengutip sebuah teks dari Syaikh al-Ghazali yang dapat menggambarkan sejauh mana pemahaman dan kesadarannya terhadap fiqh prioritas, dan kesadarannya untuk menciptakan pandangan yang menyeluruh dan seimbang dalam Islam, sehingga setiap segala sesuatu mendapatkan haknya dan ditempatkan pada tempatnya. Dalam sebuah kajiannya tentang sebab-sebab kehancuran peradaban Islam dan kemunduran ummat Islam setelah ia menjadi ummat yang maju, dengan Judul al-Tashwir al-Juz'iy li al-Islam, dalam bukunya yang berjudul al-Da'wah al-Islamiyyah Tastaqbil Qarnaha al-Khamis 'Asyar.
Dia mengatakan, "Iman itu ada enam puluh macam lebih atau tujuh puluh cabang lebih. Apakah bagian-bagian ini tersusun bertindih-tindih antara sebagian dengan sebagian yang lain dengan begitu saja? Ataukah dia seperti barang dagangan yang dibeli oleh seseorang dari pasar kemudian diletakkan di dalam tasnya begitu saja sehingga memudahkan baginya untuk membawanya? Tidak! Sesungguhnya bagian-bagian itu bertingkat-tingkat sesuai dengan kepentingan dan nilainya. Dan setiap bagian mempunyai tempat yang tersendiri dan tidak dapat diganggu oleh yang lainnya.