Lalu, apakah ada artinya engkau melarang manusia untuk memakan makanan yang haram, misalnya, pada suatu masyarakat yang ekonominya didasarkan kepada riba, sehingga seluruh harta kekayaan yang ada di dalam masyarakat itu menjadi haram, dan tidak ada lagi seseorang yang dapat memakan makanan yang halal... Semua itu karena aturan sosial dan ekonomi mereka tidak didasarkan kepada syari'ah Allah, atau karena mereka menolak ketuhanan Allah dengan menolak penerapan syari'ah-Nya dalam kehidupan ini.
Apa artinya kalau kita melarang manusia melakukan kefasikan, misalnya, dalam suatu masyarakat yang undang-undangnya tidak menganggap perzinaan sebagai suatu kejahatan --kecuali dalam kondisi yang sangat terpaksa-- dan tidak mengenakan sanksi terhadap pelakunya yang sesuai dengan syari'ah Allah SWT. Jika demikian, hal itu dianggap menolak ketuhanan Allah dengan menolak penerapan syari'ah-Nya dalam kehidupan ini.
Apa artinya kalau kita melarang manusia untuk bermabuk-mabukan dalam masyarakat yang undang-undangnya membolehkan peredaran minuman keras, dan tidak memberikan sanksi kepada orang-orang yang jelas mabuk di tengah-tengah keramaian manusia. Ia tidak diberi sanksi dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah, karena masyarakat itu tidak mengakui prinsip kekuasaan Allah.
Apa artinya, kita melarang manusia menghina agama dalam suatu masyarakat yang tidak mengakui kekuasaan Allah, dan tidak menyembah-Nya. Masyarakat yang menyembah pelbagai tuhan selain Dia. Masyarakat yang menurunkan syari'ah dan undang-undang-Nya, tatanan dan aturan-Nya, nilai dan timbangan-Nya. Orang yang menghina dan yang dihina sama-sama bukan berada dalam agama Allah SWT, karena mereka sama-sama menurunkan syari'ah dan undang-undang-Nya, dan tidak meletakkannya sebagai satu nilai dan timbangan.
Apa artinya menyuruh orang melaksanakan kebaikan dan mencegah kemungkaran dalam kondisi seperti ini? Dan apa gunanya melarang orang untuk melakukan dosa-dosa besar dan juga dosa-dosa kecil lainnya, kalau dosa yang sangat besar tidak ada larangan... yakni kufur terhadap Allah dan menolak jalan hidup yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Sesungguhnya persoalannya lebih besar, lebih luas, dan lebih dalam daripada apa yang telah diperjuangkan oleh orang-orang yang "berhati baik" itu. Sesungguhnya dalam masa seperti ini kita tidak perlu memberikan perhatian kepada perkara-perkara furu'iyah bagaimanapun besarnya masalah itu, walaupun sampai melanggar batas yang ditetapkan oleh Allah, karena sesungguhnya batas yang telah ditetapkan oleh-Nya pada prinsipnya adalah mengakui kekuasaan-Nya tanpa kekuasaan yang lainnya. Apabila pengakuan itu belum ada dan belum menjadi kenyataan, di mana syari'ah Allah SWT diakui sebagai satu-satunya sumber dalam penetapan hukum, dan Allah SWT merupakan satu-satunya sumber kekuasaan... Segala usaha yang diupayakan dalam perkara cabang dianggap sia-sia, dan semua usaha dalam masalah furu'iyah tidak ada gunanya... Kemungkaran yang paling besar lebih utama untuk diberantas dan ditangani daripada segala bentuk kemungkaran yang lain. Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an, juz 6, h. 949-951, cet. Dar
as-Syuruq.
Ustadz Muhammad Al-Mubarak
Di antara tokoh pembaru Islam yang tergerak hatinya untuk menerapkan fiqh prioritas ialah seorang tokoh pemikir Islam dari Syria yang terkenal. Ia adalah Ustadz Muhammad Mubarak. Ia berbicara tentang satu sisi yang sangat penting dalam perkara ini dengan mendalam dalam bukunya, al-Fikr al-Islami al-Hadits fi Muwajahah al-Afkar al-Gharbiyyah, yang pada hakikatnya merupakan kumpulan kajian dan kuliah yang ia tulis atau ia sampaikan pada berbagai kesempatan.
Dalam bukunya itu, dia banyak berbicara tentang "Aturan Peringkat Kerja dalam Islam" yang saya kutipkan dalam baris-baris berikut ini mengingat pentingnya masalah ini:
"Ciri khas kesatuan aturan Islam harus disertai dengan kesatuan lain yang tidak kalah pentingnya dengan hal itu; yaitu kesatuan aturan peringkat kerja yang mengatur berbagai sektor kehidupan manusia dan nilainya. Harta kekayaan, kenikmatan, pekerjaan, akal pikiran, pengetahuan, kekuatan, ibadah, kekerabatan, kemanusiaan adalah nilai-nilai kehidupan. Islam menempatkan perkara-perkara di atas pada tempat tertentu dalam tatanan hidup dan tingkatan tertentu yang tidak boleh dilanggar oleh manusia sehingga tidak ada nilai yang terabaikan.
Sesungguhnya salah satu bentuk penyimpangan dalam Islam ialah menggantikan tingkat kedudukan nilai-nilai tersebut dengan cara menambah atau menguranginya kepada nilai yang lain; sebagaimana yang terjadi pada akhir-akhir ini. Sesungguhnya penggantian nilai-nilai yang berlaku di dalam tatanan kehidupan ini dapat berupa perubahan peringkat amalan dengan acak, tanpa aturan, yang memberikan petunjuk yang samar kepada manusia, atau dengan cara bersenda gurau. Tindakan seperti itu adalah seperti mencampurkan berbagai obat, tanpa aturan, sehingga menyebabkan kerusakan, dan perubahan sifat dan karakteristik obat tersebut. Dan bahkan obat itu dapat berubah menjadi suatu bahan yang berbahaya dan mengandung racun.