Oleh sebab itu, Imam Ahmad dan ulama lainnya lebih senang melakukan sesuatu yang lebih utama, jika perbuatan itu dianggap dapat tetap menjaga keutuhan persatuan umat Islam. Menurutnya, memisalkan shalat witir dianggap lebih utama; yaitu dengan melakukan salam pada dua rakaat yang pertama, kemudian baru melakukan shalat satu rakaat pada salam yang kedua; jika dia menjadi imam pada suatu kaum yang memiliki pandangan memisahkan witir. Misalnya tidak memungkinkan baginya untuk memisahkan witir, dan dia terus menyambungkannya, maka kemaslahatannya sendiri dapat dicapai tetapi orang-orang merasa benci untuk shalat di belakangnya. Begitu pula halnya dengan orang yang berpandangan bahwa membaca basmalah dengan suara pelan lebih utama, atau dengan suara keras yang lebih utama, tergantung kepada kebanyakan ma'mumnya. Dalam hal ini harus ada sesuatu yang diutamakan sehingga kemaslahatan dan menjaga persatuan tetap dapat dijalankan.
Begitu pula halnya apabila kita mengerjakan sesuatu yang berbeda tetapi lebih utama, untuk memberikan penjelasan terhadap sunnah dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya, merupakan sesuatu yang baik. Seperti membaca doa iftitah, ta'awwudz, atau basmalah dengan suara keras, agar diketahui oleh manusia bahwa perbuatan itu merupakan sesuatu yang disyari'ahkan di dalam shalat, sebagaimana dijelaskan oleh sebuah hadits shahih bahwa Umar bin Khattab membaca iftitah dengan suara keras. Dahulu Umar bin Khattab melakukan takbiratul-ihram, kemudian mengucapkan, "Mahasuci Engkau wahai Allah dan Maha Terpuji, yang nama-Mu membawa berkah, dan kesungguhan-Mu yang Maha Tinggi, dan tiada Tuhan selain Engkau." Al-Aswad bin Yazid berkata, "Aku shalat di belakang Umar lebih dari tujuh puluh kali shalat. Dia bertakbir, kemudian dia mengucapkan doa tersebut." Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.
Dan oleh sebab itu, doa iftitah tersebut sangat populer di kalangan masyarakat sehingga mereka dapat melakukan hal yang sama. Begitu pula yang dilakukan oleh Ibn Umar dan Ibn Abbas, kedua orang ini mengeraskan bacaan ta'awwudz, dan tidak sedikit sahabat yang mengeraskan bacaan basmalah. Dan menurut para imam jumhur, yang tidak berpandangan mengeraskan basmalah dalam shalat, bahwa hal itu dilakukan agar semua orang mengetahui bahwa bacaan basmalah adalah sesuatu yang disunnahkan di dalam shalat. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih bahwa Ibn Abbas melakukan perbuatan itu agar masyarakat mengetahui bahwa ia adalah sesuatu yang sunnah. Oleh sebab itu, ada dua pandangan besar yang berkaitan dengan shalat jenazah.
Pertama, kelompok yang tidak memandang bahwa di dalam shalat itu ada bacaan, sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama salaf, dan ini merupakan mazhab Abu Hanifah.
Kedua, kelompok yang memandang bahwa bacaan di dalam shalat itu merupakan sesuatu yang sunnah. Dan ini adalah mazhab Syafi'i dan Ahmad; berdasarkan hadits Ibn Abbas dan lain-lain.
Kemudian ada kelompok lain lagi yang mengatakan bahwa bacaan di dalam shalat itu adalah wajib sebagaimana kewajiban yang berlaku di dalam shalat.
Sebagian kelompok lainnya mengatakan, "Bacaan ayat al-Qur'an itu hukumnya sunnah, dan tidak wajib." Pendapat ini merupakan pendapat yang moderat dibandingkan dengan tiga pendapat sebelumnya. Karena sesungguhnya para ulama salaf mengerjakan ini dan yang lainnya mengerjakan itu. Dan kedua perbuatan mereka sangat masybur di kalangan mereka. Dahulu mereka melakukan shalat jenazah dengan bacaan dan tanpa bacaan, sebagaimana mereka kadang-kadang mengeraskan bacaan basmalah dan kadangkala tidak mengeraskannya. Kadangkala mereka membaca doa iftitah dan kadangkala tidak membacanya. Kadangkala mereka mengangkat kedua tangan pada tiga tempat, dan kadangkala tidak mengangkatnya. Kadangkala mereka mengucapkan dua salam dalam shalat, tetapi kadangkala mereka hanya mengucapkan satu kali salam saja. Kadangkala mereka membaca bacaan di belakang imam dengan hati, tetapi kadang-kadang mereka tidak membaca. Kadangkala mereka bertakbir empat kali dalam shalat jenazah, kadang-kadang membaca takbir lima kali. Bahkan ada yang bertakbir sebanyak tujuh kali. Semua perbuatan ini dilakukan oleh para sahabat r.a.
Begitu pula riwayat yang menyatakan bahwa di kalangan para sahabat ada yang melakukan adzan lagi, dan ada pula yang tidak melakukannya. Mereka juga ada yang mengganjilkan iqamat dan ada pula yang menggenapkannya. Kedua hal ini merupakan riwayat yang berasal dari para sahabat Nabi saw.
Ketiga hal ini, walaupun salah satu di antaranya lebih kuat daripada yang lain, seandainya ada yang melakukan pendapat yang tidak kuat, maka dia dianggap melakukan sesuatu yang boleh dilakukan. Dan kadangkala sesuatu yang tidak kuat menjadi lebih kuat melihat kepada kemaslahatan yang dapat diperoleh; sebagaimana meninggalkan suatu perkara yang dianggap kuat dinilai lebih baik karena ada kemaslahatan yang ada di balik itu.
Perkara seperti ini dapat berlaku dalam semua amalan. Karena sesungguhnya amalan yang termasuk lebih penting, kadang-kadang menempati suatu kondisi lain yang lebih penting lagi. Seperti shalat merupakan sesuatu yang lebih penting daripada membaca al-Qur'an, dan membaca al-Qur'an lebih utama daripada dzikir, dan dzikir lebih utama daripada doa. Kemudian shalat setelah shalat Subuh dan shalat Asar merupakan sesuatu yang dilarang padahal bacaan al-Qur'an, dzikir, dan doa diperbolehkan pada waktu-waktu itu. Begitu pula bacaan al-Qur'an pada waktu ruku' dan sujud itu dilarang, sehingga zikir pada saat seperti itu dianggap lebih utama daripadanya. Dan doa pada akhir shalat setelah melakukan tasyahud dipandang lebih utama daripada dzikir.